Ahlan wasahlan

kehidupan ini sperti snetron...yang disutradarai sang khaliq...kita aktornya....uwh....

Sabtu, 17 Juli 2010

persiapan makalah vhy

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang

di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan

mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.

(Al-Quran, Surat Ash-Shaf: 4)

MUHAMMADIYAH memang bukan ideologi, dalam arti sebagai sistem paham yang kaku yang berusaha menjelaskan dunia dan melakuakn perubahan berdasarkan teori perjuangan yang menjadi pahamnya, sebagaimana ideologi-ideologi pada umumnya. Tetapi Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam yang memiliki misi, anggota, dan cita-cita mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di tengah berbagai arus pemikiran dan kelompok yang bermacam ragam membutuhkan faktor pengikat ideologis, sehingga dalam kadar tertentu memerlukan dimensi ideologi. Ideologi Muhammadiyah itu tiada lain sebagai sistem pengikat paham dan perjuangan dalam mewujudkan tujuan dalam satu kesatuam imamah, jam’iyah, dan jama’ah.

Ada beberapa kasus yang dapat dijadikan latarbelakang kenapa ideologi Muhammadiyah perlu ditanamkan kembali di lingkungan Persyarikatan

1. Beberapa kasus di mana para kader Muhammadiyah termasuk di politik sulit bersatu sehingga sering dikalahkan oleh pihak lain padahal Muhammadiyah terbilang mayoritas di temppat itu.

2. Melemahnya kesatuan imamah, jam’iyah, dan jama’ah di kalangan Persyarikatan termasuk ketaatan pimpinan Amal Usaha terhadap Persyarikatan, sehingga Muhammadiyah cenderung berjalan sendiri-sendiri.

3. Melemahnya ruh gerakan di sementara lingkungan Persyarikatan dan adanya tantangan-tantangan ideologis dari luar, merupakan kenyataan yang harus dihadapi oleh Muhammadiyah.

4. Tantangan-tantangan dari luar seperti penetrasi nilai-nilai sekular dan paham lain yang menimbulkan erosi keagamaan dan kehidupan warga Muh

Adapun ideologi Muhammadiyah yang perlu dipahami dan menjadi acuan baku dalam Muhammadiyah selama ini, ialah sebagai berikut:

1. Muqaddimah Anggaram Dasar Muhammadiyah yaitu aqidah dan cita perjuangan Muhammadiyah yang fundamental yang mengandung pernyataan enam hal prinsipil. Konsep ini lahir tahun 1945 untuk memantapkan warga Muhammadiyah dalam ber-Islam dan ber-Muhammadiyah yang didorong dua hal yaitu (a) terdesaknya pertumbuhan ruh Muhammadiyah oleh perkembangan lahiriah dan (b) masuknya pengaruh pemikiran luar (non-Islami) dalam kehidupan Muhammadiuah.

2. Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah yang mengandung pernyataan tentang ideologi, paham agama, dan misi serta fungsi Muhammadiyah dalam kehidupan. Konsep ini lahir tahun 1967 dengan tujuan untuk memantapkan keyakinan dan cita-cita hidup (ideologi) di kalangan warga Muhammadiyah yang diakibatkan oleh perkembangan sekularisasi, modernisasi, dan deideologisasi yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru.

3. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, lahir tahun 2000 (Muktamar Jakarta), mengandung seperangkat nilai dan norma ajaran Islam agar seluruh warga Muhammadiyah menjalani kehidupan secara Islami. Pedoman ini lahir sebagai antisipasi atas perubahan-perubahan politik, perubahan sikap hidup, dan penetrasi budaya yang melunturkan ruh Islam dan ruh jihad di kalangan warga Muhammadiyah.

Karena itu, kini diperlukan pembinaan ideologi gerakan dalam Muhammadiyah, dengan membangun kesadaran, keyakinan, pemahaman, dan aktualisasi mengenai hal-hal fundamental berikut ini:

1. Menanamkan Keyakinan dan Paham tentang Islam sebagai Pandangan Hidup

Pandangan fundamental mengenai Islam sebagai pandangan hidup Muhammadiyah tercermin dalam pemikiran Islam Kyai Ahmad Dahlan yang bercorak tajdid, hasil-hasil pemikiran Majelis Tarjih, Masalah Lima, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Keyakinan Hidup Islami dalam Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan pemikiran-pemikiran Islam lainnya yang selama ini menjadi acuan nilai dan norma yang merujuk pada Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahihah (maqbulah) dengan mengembangkan ijtihad. Pandangan hidup Islami tersebut mengandung pokok-pokok pikiran tentang dasar atau landasan hidup berdasarkan Tauhid (Q.S. Al-Ikhlash: 1-4; Ar-Rum: 30), fungsi hidup berupa ibadah dan kekhalifahan (Q.S. Adz-Dzariat: 56; Al-Baqarah: 30), tugas hidup beramal shalih (Q.S. Ali Imran: 114), pedoman hidup ialah Al-Quran dan As-Sunnah (Q.S. Al-Baqarah: 2, Al-Hadist), dan tujuan hidup untuk meraih keridhaan Allah (Q.S. Al-Fath: 29).

2. Menjadikan Al-Islam dan Kemuhammadiyah sebagai Jiwa Gerakan

Bahwa keseluruhan aktivitas gerakan Muhammadiyah yang dilembagakan dan dioperasionalisasikan melalui berbagai penggarapan amal usaha dan program-program Persyaritakan maupun dalam membangun pola tingkahlaku segenap anggota Muhammadiyah senantiasa disemangati dan dilandasi oleh ruh atau jiwa Al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang menjadi faktor pengikat ideologis baik dalam jama’ah, jam’iyah, maupun imamah di tubuh Persyarikatan. Al-Islam dan Kemuhammadiyahan sebagai jiwa, alam pikiran, dan pengetahuan kolektif yang menjadi ciri khas atau identitas Muhammadiyah yang melahirkan cara beragama yang berlandaskan tauhid murni, berperilaku dengan meneladani uswah hasanah Muhammad Rasulullah, mengembangkan ijtihad dan alam pikiran tajdid, beramal ilmiah dan berilmu amaliah, serta senantiasa melahirkan amal-usaha yang bermanfaat dan menjadi rahmatan lil-‘alamin bagi umat dan masyarakat luas di mana Muhammadiyah berada.

3. Mewujudkan Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai Tujuan

Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya merujuk pada kualitas umat terbaik (Khaira Ummah) yang kualitas Rabbani yang dibina oleh ajaran Islam (Q.S. Ali Imran: 110), masyarakat yang berperikemanusiaan (Q.S. Al-Isra: 70), masyarakat pengabdi Tuhan (Q.S. Adz-Dzariat: 56), yang memiliki pertalian kepada Allah dan kepada sesama manusia (Q.S. Ali-Imran: 112), suatu “masyarakat di mana keutamaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan luas merata”, yang digambarkan sebagai “baldhatun thayyibatun wa Rabbun ghafur”.

4. Melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Praksis Gerakan

Komitmen gerakan Muhammadiyah dengan seluruh kegiatannya tidak lain menjalankan misi da’wah Islam yaitu menyeru kepada Al-Kair, mengajak kepada Al-Ma’ruf, mencegah dari Al-Munkar, dan mengajak beriman kepada Allah (Q.S. Ali Imran: 104, 110), yang dilaksanakan secara menyeluruh ke berbagai bidang kehidupan dengan pilihan-pilihan strategis sesuai dengan misi dan situasi yang dihadapi, dan cara-cara yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam, sehingga Islam menjadi rahmat bagi semesta alam (Q.S. Al-Anbiya: 107).

5. Menjadikan Organisasi sebagai Instrumen/Sistem Gerakan

Bahwa perjuangan mewujudkan misi Muhammadiyah hanyalah akan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya jika ditempuh secara kolektif melalui organisasi sebagaimana pesan Al-Quran Surat Ali Imran 104 yang memerintahkan adanya sekalian golongan dari umat Islam yang mengajak kepada ke-Islaman, menyuruh kepada kebaikan, dan mencegah dari kemunkaran. Organisasi sebagai alat perjuangan bahkan menurut ushul fiqih menjadi wajib sebagaimana qaidah, bahwa ““uatu kewajiban tidak selesai kecuali dengan adanya suatu barang, maka barang itu hukumnya wajib” (maa laa yatimmu al-wajib, illa bihi fahuwa wajibun). Melalui organisasi terdapat musyawarah (Q.S. Asy-Syura: 37) dan adanya barisan yang kokoh (Q.S. Ash-Shaf: 4).

6. Menyatukan Warga, Kader, dan Pimpinan sebagai Pelaku Gerakan

Segenap anggota Muhammadiyah dari warga sampai kader dan pimpinan di seluruh tingkatan dan lingkungan, termasuk di kalangan amal usaha, merupakan subjek atau pelaku gerakan Muhammadiyah sesuai dengan posisi dan perannya dalam satu kesatuan kolektif (Q.S. As-Syura: 13, Ali Imran: 104, Al-Anfal: 60, . Yusuf: 108, Al-Maidah: 67).

7. Berperan-Aktif dalam Kehidupan Umat dan Bangsa sebagai Langkah Strategis Gerakan

Muhammadiyah senantiasa mengambil posisi dan peran yang signifikan dalam keseluruhan dinamika kehidupan umat dan bangsa yang dilandasai oleh misi dan orientasi da’wah amar ma’ruf nahi munkar serta tajdid secara tersistem dan terorganisasi rapih.

8. Menyatukan Faktor-faktor Gerakan sebagai pendukung pencapaian Usaha dan Tujuan Gerakan

Yaitu faktor mentalitas (akhlaq, ruh jihad), tata aturan, konsep dan pemikiran, taktik dan strategi, dana, fasilitas, sarana dan prasarana, dan faktor-faktor lainnya yang dapat mendukung misi dan pencapaian tujuan gerakan Muhammadiyah

Persoalan Aktualisasi

Setelah Mencermati dan memahami normatifitas ideologi Muhammadiyah tersebut, sebagai angkatan Muda Muhammadiyah dan sekaligus kader, maka agenda berikutnya adalah aktualisasi nilai-nilai tersebut dalam pergulatan zaman dan perubahan peradaban yang semakin cepat. Ideologi Muhammadiyah akan abadi ketika ia mampu dimaknai secara dewasa dan arif oleh para kadernya dalam sebuah kerja-kerja praksis yang menekankan pada keberpihakan persoalan-persoalan keummatan. Di sinilah inti dari aktualisasi nilai tersebut.

Relevan tidaknya ideologi Muhammadiyah akan tergantung dari fokus, prioritas dan irama kerja Muhammadiyah sekarang. Kita harus ingat bahwa jika pilihan Muhammadiyah untuk tidak melakukan reorientasi, penajaman, dan pengembangan pada wilayah pemikiran keislaman dan kemasyarakatan, sementara tantangan yang dihadapi semakin ketat di mana Muhammadiyah Muhamamdiyah mengalami perubahan secara drastis, maka yang paling terancam dalam oleh perubahan tersebut adalah “bahasa” / ideologi yang digunakan oleh gerakan dan Perjuangan Muhamamadiyah. “Bahasa “ tersebut tidak mampu menyentuh substansi persoalan-persoalan empiris-pragmatis-kekinian yang digeluti oleh generasi sekarang maupun masa mendatang. Akibatnya “bahasa” dan diskursus keagamaan Muhammadiyah akan terasa outmoded dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi terdengar asing bagi masyarakat luas.

Maka agenda yang mendesak adalah Pertama, harus ada perubahan kesadaran, sikap mental dan perilaku dari seluruh warga dan Pimpinan Muhammadiyah, institusi terkait di semua level kepengurusan. Semuanya harus menyadari bahwa tantangan masa depan Muhammadiyah akan jauh lebih berat dan kompleks dibanding dengan pada saat Muhammadiyah berdiri maupun saat sekarang ini, sementara perangkat organisasi ini tidak lagi memadai jika tidak dilakukan reformasi. Tanpa perubahan kesadaran, sikap mental dan komitmen, perilaku niscaya niat untuk melakukan perubahan akan terhenti sebatas komitmen.

Kedua, diperlukan penyesuaian struktur organisasi secara lebih menyeluruh. Struktur organisasi yang pada awalnya dimaksudkan untuk mempermudah mencapai tujuan persyarikatan, pada akhirnya cenderung membirokrasi dan memperlambat gerak persyarikatan untuk merespon arus tantangan yang demikian deras. Struktur organisasi yang terlalu besar, karena pertimbangan akomodasi politik lebih dikedepankan, membuat organisasi ini cenderung kurang efektif. Oleh karena itu diperlukan struktur organisasi yang sederhana dalam arti rentang kendali yang tidak terlalu lebar dan tetap fleksibel, sehingga organisasi ini mampu merespon zaman yang semakin cepat berubah.

Pada akhirnya, jika niat untuk melakukan perubahan telah diikrarkan disertai kesediaan diri untuk ambil bagian dalam arus perubahan tersebut, maka hanya kepada-Nya lah segala sesuatunya kita serhakan, dengan disertai harapan agar apa yang telah kita azamkan ini selalu dalam ridho dan hidayahNya amin.
http://www.mahaddarularqamgarut.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=136:aktualisasi-idiologi-muhammadiyah&catid=1:pembinaan-dan-pendidikan

Gerakan Dakwah Kultural NU di Indonesia
26 01 2009

A. Sekilas Sejarah Berdirinya NU

Nahdhatul Ulama (NU) adalah jam’iyyah diniyah Islamiyah yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 M di Surabaya. Organisasi ini dirintis dan didirikan oleh para ulama pesantren yang berhaluan Islam Ahlussunnah wal jama’ah dalam rangka mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam serta khidmat kepada bangsa, negara dan ummat Islam. Nahdhatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyah Islamiyah senantiasa berpegang kepada kaidah-kaidah keagamaan (Islam) dan kaidah-kaidah kenegaraan dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah-langkahya.
Memahami NU sebagai jamiyyah diniyah secara tepat belumlah cukup dengan hanya melihat dari sudut formal semenjak ia lahir berikut pertumbuhan dan perkembanganya. Sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam’iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu mewujud dalam bentuk jama’ah (komunitas) yang terikat kuat oleh aktifitas social keagamaan yang mempunyai karakter tersendiri. Dengan demikian lahirnya NU sebagai organisasi (jam’iyyah) tidak ubahnya mewadahi barang yang sudah ada. Dengan kata lain berdirinya NU tidak lebih sebagai penegasan formal para ulama yang sudah berjalan jauh sebelum NU lahir.
Dari sekian literature yang berkaitan dengan latarbelakang lahirnya NU, pada umumnya menunjukan warna yang sama yakni reaksi atas perkembangan modernisme Islam yang tarik menarik anatara perkembangan politik Timur Tengah dengan dinamika internal perkembangan Islam di tanah air. Reaksi dimaksud merupakan sikap protes dari tokoh-tokoh Islam penganut paham Ahlussunnah wal jama’ah dimana akar-akar reaksi tersebut berdimensi idiologis-kultural.
Gerakan purifikasi didunia Islam yang dikumandangkan oleh Muhammad Abduh dengan pandangan Wahabi juga berpengaruh terhadap perkembangan Islam Indonesia telah menghadapkan ulama pesantren sayap tradisi menjadi terusik yang mana kelompok ulama pesantren dinilai oleh ‘kelompok pembaharu’ mengembangkan taqlid dan penuh dengan bid’ah sehingga lahirlah perdebatan seputar khilafiyah pada persoalan furi’iyyah (masalah cabang-cabang dalam agama). Di samping itu kelahiran NU juga sebagai respon ulama pesantren terhadap isu keislaman global setelah terjadi pergolakan politik di Timur Tengah dimana Abdul Aziz ibn Saud yang Wahabi berkuasa dan akan melakukan penataan kota Makkah dan Madinah yang antara lain programnya adalah pembersihan ajaran mazdhab dan perbersihan makam-makam yang selama ini diziarahi jamaah haji termasuk makam Rasulullah karena dianggap sarang bid’ah. Kelompok ulama pesantren inilah yang kemudian tergabung dalam Komite Hijaz yang akan menyampaikan nota protes kepada pemerintah Saudi dan agar membatalkan pembersihan makam Rasulullah. Komite Hijaz inilah yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama.

B. Kerangka Pemahaman Keagamaan dan Basis Sosial NU

Sebagai organisasi social keagamaan , NU tidak lepas dari wacana pemikiran keagamamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni). Organisasi inilah yang secara tegas memproklamirkan dirinya sebagai organisasi penganut paham keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) sebagai pola kehidupanya. Apalagi jika ditelusuri lebih jauh para penggagas berdirinya organisasi ini memiliki jaringan mata rantai dengan para ulama Haramain pada masa kekuasaan Turki Usmani yang nota bene berhaluan Sunni.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (ASWAJA) pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, secara embrional, ASWAJA sudah muncul sejak munculnya Islam itu sendiri. Menurut terminology ini, maka penganut Sunni tidak hanya NU saja tetapi hampir semua ummat Islam Indonesia adalah Sunni. Hanya saja kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Dibidang Aqidah, model yang diikuti oleh NU adalah pemikiran-pemikiran aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembang empat imam madzhab (aimmatul madzahib al-arba’ah) yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwaini al-Baghdadi.
Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam pandangan NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gagasan konfigurasi aspek aqidah, fiqh dan tasawwuf. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh, masing-masing tidak terpilah dalam trikotomi yang berlawanan. Hanya saja dalam prakteknya, dimensi ajaran fiqh (hukum Islam) jauh lebih dominan disbanding dimensi yang lain.
Dalam pemikiran fiqh yang dianut NU konsep hukum Allah terbagai menjadi dua besaran yaitu hukum yang bersifat iqtidha (sesuatu yang sudah ada ketentuanya secara eksplisit dalam nash) dan hukum Allah yang bersifat takhyir (belum ada ketentuan dasarnya) yang biasanya disebut ibahah. Ketentuan hukum yang secara eksplisit tidak diatur jumlahnya jauh lebih banyak dan ini merupakan wilayah hukum yang bersifat ijtihadiyah dan menjadi tugas umat Islam untuk megembangkanya dengan mendasarkan pada kaidah fiqh al-hukmu ma’al al-‘illat dengan mendasarkan pada logika sebab akibat (causality) yang biasanya mendasarkan pada kalkulasi maslahat dan madharat.
Cara pandang keagamaan yang cenderung fiqh oriented dengan pleksibilitas yang tinggi terhadap elemen-elemen perubahan ataupun elemen udaya local menjadikan NU menolak cara pandang berfikir yang ‘hitam putih’ (legal formal).
Formulasi pemahaman keagamaan NU terhadap ASWAJA yang mengikuti pola/model ulama mazdhab bukan berarti NU puas dengan situasi Jumud / stagnan yang penuh taqlid sebagaimana dituduhkan oleh kelompok “Islam Modernis”. Ide dasar pelestarian mazdhab oleh NU justeru sebagai bagian dari tanggung jawab pelestarian dan pemurnian ajaran Islam itu sendiri. Pola bermazdhab yang dikembangkan oleh NU sebagaimana hasil Musyawarah Nasional di Bandar Lampung tahun 1992 menganut dua pola yaitu bermazdhab secara qauli (tekstual) ataupun bermazdhab secara manhaji (dimensi metodologis/istinbathi
Sedangkan basis social warga NU adalah pada adalah masyarakat muslim yang secara keagamaan yang pada umumnya berbasis pesantren baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan walaupun sekarang ini terjadi pergeseran yang sangat signifikan pada tataran segmen warga NU dengan lahirnya alumni-alumni perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri.
Pergeseran warga dan basis social NU ini pada akhirnya mempengaruhi dinamika pemikiran keagamaan didalam tubuh NU sendiri dengan corak yang beragam. Pada umumnya perbedaan corak pemahaman keagamaan ini berporos pada dua kubu yaitu kubu yang cenderung mempertahanakan tradisi bermazdhab secara qauli (materi/tekstual) dan kubu yang mencoba menembangkan pemahaman secara manhaji (metodologis) dengan pendekatan kontekstual yang melahirkan berbagai pemikiran alternatif.

C. Misi dan Strategi Dakwah NU

Berkaitan dengan misi Nahdhatul Ulama (NU) sebagai jam’iyyah diniyah kami kutipkan dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai berikut :
Bab II : Aqidah
Pasal 3 : Nahdhatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah yang menganut salah satu mazdhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali.
Bab V : Tujuan dan Usaha
Pasal 6 : Tujuan Nahdhatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Pasal 7: Untuk mewujudkan tujuan di atas maka Nahdhatul Ulama melakukan usaha-usaha sebagai berikut:
Di bidang agama mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar serta peningkatan ukhuwwah islamiyah.
Di bidang Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, untuk membina manusia muslim yang taqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, dan terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Di bidang sosial, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan dengan mengupayakan keadilan social dan keadilan hukum disegala lapangan bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan dan keselamatan umat di dunia dan akhirat.
Di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya koperasi.
Mengusahakan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (maslahat al-‘ammah) guna terwujudnya khairu ummah.
Adapun berkaitan dengan strategi dakwah yang dikembangkan oleh NU, maka pada tataran implementasinya sangat dipengaruhi oleh model pemikiran dan prilaku (manhaj al-fikr wa sirah) dalam pembumian ajaran Islam yang bertumpu pada tiga sikap /karakter dalam beragama:
1. Tawassuth (moderat) yaitu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan tanpa mengambil sikap ekstrim (tatharruf). Implementasi sikap ini dalam konteks hukum adalah keseimbangan dalam menggunakan wahyu dan akal dan dalam konteks aqidah tidak gampang memberikan vonis kafir, sesat kepada orang lain. Mengambil sikap tengah antara: wahyu dan akal, Taqdir dan ikhtiyar dan antara taqlid dan ijtihad.
2. Tawazun dan Ta’adul (keseimbangan) sikap ini terepleksi dalam tata pergaulan baik dimensi politik maupun budaya ysitu dengan mengambil sikap akomodatif kritis dengan mengembangkan seruan amar ma’ruf nahi munkar.
3. Tasamuh (toleran) yaitu mengembangkan dan menumbuhkan sikap menghormati keragaman pemahaman, tindakan maupun gerakan dalam konteks keislaman. Prinsip ini dimaksudkan dalam upaya membangun ukhuwwah baik ukhuwwah Islamiyah, Basyariyah maupun Wathaniyah.
Dengan mendasarkan pada tiga pilar maka startegi perjuangan / dakwah NU menuju ‘izzul islam wal muslimin lebih pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya local sebagai instrumen dakwahnya. Dalam Program Pokok Pengembangan NU (1994-1999) dijelaskan beberapa prinsip dasar dalam berdakwah dengan melakukan tranformasi social menuju ‘izzul Islam wal muslimin dengan mendasarkan pada beberapa ayat yaitu: suarat An-Nahl: 125, Ali Imron: 104, 110, 112, Al-Anbiya: 107.
Walaupun demikian pendekatan-pendekatan structural secara institusional juga dilakukan dengan melakukan advokasi-advokasi yuridis dan politik yang diperankan oleh elit-elit NU ataupun tokoh NU non structural yang tersebar diberbagai partai politik. Dalam pandangan elit NU perjuangan pembumian syari’at Islam adalah kewajiban agama dengan memperjuangkan sesuatu yang paling mungkin dicapai, dan sesuatu yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan. Dalam konteks hukum agama (bidang muamalah) berlaku prinsip apa yang disebut dengan prinsip ‘tujuan dan cara pencapaianya” (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan masih tetap, maka cara pencapaiannya menjadi sesuatu yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu tetap, tetapi cara pencapaianya bisa berubah-rubah seiring dengan dinamika zaman.
Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (al-waqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah ” al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah” yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.http://anank.wordpress.com/2009/01/26/gerakan-dakwah-kultural-nu-di-indonesia/